Wasiat-wasiat1#
Wasiat Ibnu ‘Arabi: Kisah-kisah Hikmah dan Nasihat
“Mengapa kau membenci si fulan?”
“Karena ia membenci Abu Madyan,” jawabku.
“Bukankah ia mencintai Allah dan mencintaiku?”
“Betul, wahai Rasulullah, ia mencintai Allah Swt. dan mencintaimu.”
Beliau bertanya lagi kepadaku, “Lalu mengapa engkau membencinya karena kebenciannya kepada Abu Madyan? Mengapa engkau tidak mencintainya karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya?”
“Wahai Rasulullah, demi Allah, mulai sekarang aku tidak akan keliru dan lupa. Sekarang aku bertobat dan ia menjadi orang yang paling aku cintai. Engkau telah mengingatkan dan memberiku nasihat, semoga Allah memberikan shalawat kepadamu,” jawabku.
Ketika bangun, aku ambil pakaian yang mahal harganya, harga yang tidak kuketahui nilainya. Aku tunggangi kendaraanku dan pergi menuju rumahnya. Lalu aku kabarkan apa yang telah terjadi. Maka ia menangis dan menerima hadiah dariku. Ia menjadikan mimpi itu sebagai peringatan dari Allah Swt. Maka hilanglah kebencian dalam dirinya kepada Abu Madyan, dan berbalik mencintainya. Aku ingin tahu sebab kebenciannya kepada Abu Madyan, padahal ia mengatakan bahwa Abu Madyan adalah seorang saleh. Aku tanyakan hal itu kepadanya. Maka ia menjawab:
“Kami pernah hidup bersamanya di Bougie (sebuah kota pelabuhan di Al Jazair). Pada hari raya ‘Id Al-Adhha, dibawakannya kepadanya hewan kurban. Lalu ia membagikan daging hewan kurban itu kepada sahabat-sahabatnya. Akan tetapi, ia tidak memberikan sedikit pun kepadaku. Inilah sebab kebencianku kepadanya, dan sekarang aku telah bertobat.”
Lihatlah betapa bagus pengajaran Nabi Saw. Beliau adalah orang yang pengasih dan lemah lembut.
2# Dalam bab Wasiat-wasiat Nabi kepada Imam ‘Ali
Wahai ‘Ali, orang mukmin memiliki tiga tanda, yakni salat, puasa, dan zakat. Orang yang pura-pura memiliki tiga tanda, yaitu: mencari muka jika berada di hadapan, menggunjing di belakang, dan merasa senang atas musibah yang menimpa orang lain. Orang zalim memiliki tiga tanda, yakni: bersikap sewenang-wenang pada bawahan, membangkang pada atasan, dan menampakkan kezaliman. Orang yang riya’ memiliki tiga tanda, yakni: diat di depan manusia, bermalasan jika sendirian, dan suka dipuji dalam setiap perbuatan. Orang munafik memiliki tiga tanda, yakni: berdusta jika berbicara, ingkar jika berjanji, dan berkhianat jika diberi amanat.
Wahai ‘Ali, orang malas memiliki tiga ciri, yakni: menunda-nunda hingga sia-sia, menyia-nyiakan hingga hilang, dan menghilangkan hingga berdosa. Tidak sepantasnya buat orang yang berakal menampakkan diri kecuali dalam tiga hal, yakni: memperbaiki kehidupan, merasakan kelezatan apa-apa yang tidak haram, atau melangkah pada tempat kembali.
Wahai ‘Ali, termasuk keyakinan ialah bahwa engkau tidak senang kepada orang yang dibenci Allah, tidak memuji seseorang atas apa yang diberikan Allah kepadamu, dan tidak mencela apa yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sebab, rezeki tidak ditarik oleh ketamakan orang yang sangat rakus, dan tidak ditolak oleh kebencian orang yang benci. Allah Swt menjadikan kesenangan dan kelapangan dalam keyakinan dan kerelaan atas karunia Allah.
Wahai ‘Ali, tidak ada kefakiran yang lebih berbahaya ketimbang kebodohan, tidak ada harta yang lebih baik dari akal, tidak ada kesendirian yang lebih ditakuti dari ‘ujb (merasa bangga pada diri sendiri), tidak ada penyelesaian yang lebih dapat dipercaya dari musyawarah, tidak ada keimanan seperti keyakinan, tidak ada wara’ seperti menjaga kehormatan diri, tidak ada kemuliaan seperti akhlak mulia, dan tidak ada ibadah seperti tafakur.
Wahai ‘Ali, segala sesuatu memiliki penyakit. Penyakit pembicaraan adalah dusta, penyakit ilmu adalah lupa, penyakit ibadah adalah riya’, penyakit kepandaian adalah pembualan, penyakit keberanian adalah kedurhakaan, penyakit toleransi adalah kelemahan, penyakit kecantikan adalah kesombongan, penyakit kaya adalah kebakhilan, penyakit kedermawanan adalah pemborosan, penyakit ibadah adalah kecongkakan, dan penyakit agama adalah hawa nafsu.
***
3#
Berhati-hatilah dari Orang-orang yang Munafik
Berhati-hatilah kamu dari berkumpul bersama orang-orang yang memaksakan diri memperindah perkataan di antara mereka sebagai tipuan. Mereka memperhalus perkataan sebagai tipuan, sedangkan hati mereka dipenuhi dendam, kedengkian, kerusakan, hasad, kesombongan, kerakusan, ketamakan, kebencian, permusuhan, dan tipu daya. Agama mereka adalah fanatisme. Akidah mereka adalah kemunafikan. Perbuatan mereka adalah riya’. Usaha mereka adalah nafsu pada dunia. Mereka berharap kekal di dalamnya, pada mereka tahu tidak ada jalan untuk itu. Mereka menumpuk harta yang tidak mereka makan, mendirikan bangunan yang tidak mereka tinggali, mengharapkan sesuatu yang tidak akan mereka peroleh, berusaha dengan jalan haram, berinfak dalam kemaksiatan, dan mencegah kebaikan dan berbuat kemungkaran.
Tentang Ilmu yang Bermanfaat
Seorang bijak berkata: Perumpamaan seorang berilmu (‘alim) yang mencintai dunia dan tamak dalam menuntut kesenangannya adalah seperti dokter yang mengobati orang, tetapi membuat sakit dirinya. Tidak mungkin diharapkan kesembuhan darinya. Sebab, bagaimana mungkin ia dapat menyembuhkan orang lain?
Yang Manakah Kita?
Seorang saleh berkata:
Barangsiapa meninggalkan kesibukan dalam kenikmatan dunia, maka ia adalah orang yang bersikap zuhud (zahid).
Barangsiapa berlaku adil dalam kasih sayang dan menegakkan hak-hak manusia, maka ia adalah orang yang bersikap tawadhu’ (mutawadhi’).
Barangsiapa menahan marah, menanggung kezaliman, dan selalu bersikap sabar, maka ia adalah orang yang bermurah hati (halim).
Barangsiapa bertindak adil, meninggalkan sikap berlebihan di dalam perkataan dan sederhana di dalam pembicaraan, meninggalkan yang tidak bermanfaat dan sederhana di dalam urusan-urusannya, maka ia adalah orang yang berakal (aqil).
Barangsiapa mencurahkan pikiran pada hal-hal yang mendekatkan dirinya pada Allah Swt., berusaha menjauhi dunia, dan berkata kepada dirinya sendiri, “Jika engkau tidak makan, engkau mati; jika engkau kenyang, engkau menjadi malas; dan jika engkau menambah, engkau akan sakit,” maka ia adalah ahli ibadah (‘abid).
Rasulullah Saw. bersabda, “Kebahagiaan diperuntukkan bagi orang yang merendahkan diri (tawadhu‘) bukan karena kekurangan, yang menghinakan dirinya bukan karena kemiskinan, yang menafkahkan hartanya yang diperoleh bukan dengan kemaksiatan, yang bergaul dengan ahli fikih dan hikmah, dan yang mengasihi orang hina dan miskin. Kebahagiaan diperuntukkan bagi orang yang baik usahanya, yang baik ketersembunyiannya, yang mulia keterang-terangannya, dan yang menjauhkan kejahatannya dari manusia. Kebahagiaan diperuntukkan bagi orang yang mengamalkan ilmunya, yang menafkahkan kelebihan hartanya, dan tidak berlebihan dalam ucapannya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar