Senin, 30 Januari 2017

KOMPROMI DENGAN WAKTU ( ??? )

Wahai waktu, bisakah kita duduk sejenak?
Membicarakan tentang aku dan kamu.

Kamu yang selalu melesat, begitu cepat.

Sungguh aku begitu rugi, sangat rugi karena tidak berteman baik denganmu. Aku yang sering menyepelekanmu, tak mengacuhkanmu, tidak berhitung akan kehebatan kecepatanmu, hingga akhirnya kini aku terpuruk dalam angan-angan untuk memiliki mesin yang dapat mengendalikanmu. Ah, bodoh! Begitu kekanak-kanak kan ideku itu? Benarkan waktu? Aku masih saja anak-anak bahkan sudah setua ini.

Wahai waktu…
Hey waktu?
Kemana engkau?
Aku belum selesai berbicara denganmu…

Sang waktu memang tak punya waktu untuk menunggu, apalagi berkompromi, memintanya untuk melupakan jadwalnya sedetik saja, tak bisa ia memenuhinya, ‘banyak yang akan rugi’ begitu katanya.

Sabtu, 28 Januari 2017

Kebahagiaan

Rasulullah Saw. bersabda, “Kebahagiaan diperuntukkan bagi orang yang merendahkan diri (tawadhu‘) bukan karena kekurangan, yang menghinakan dirinya bukan karena kemiskinan, yang menafkahkan hartanya yang diperoleh bukan dengan kemaksiatan, yang bergaul dengan ahli fikih dan hikmah, dan yang mengasihi orang hina dan miskin. Kebahagiaan diperuntukkan bagi orang yang baik usahanya, yang baik ketersembunyiannya, yang mulia keterang-terangannya, dan yang menjauhkan kejahatannya dari manusia. Kebahagiaan diperuntukkan bagi orang yang mengamalkan ilmunya, yang menafkahkan kelebihan hartanya, dan tidak berlebihan dalam ucapannya.”

Wasiat-wasiat Nabi kepada ‘Ali

Wahai ‘Ali, orang mukmin memiliki tiga tanda, yakni shalat, puasa, dan zakat. Orang yang pura-pura memiliki tiga tanda, yaitu: mencari muka jika berada di hadapan, menggunjing di belakang, dan merasa senang atas musibah yang menimpa orang lain. Orang zalim memiliki tiga tanda, yakni: bersikap sewenang-wenang pada bawahan, membangkang pada atasan, dan menampakkan kezaliman. Orang yang riya’ memiliki tiga tanda, yakni: diat di depan manusia, bermalasan jika sendirian, dan suka dipuji dalam setiap perbuatan. Orang munafik memiliki tiga tanda, yakni: berdusta jika berbicara, ingkar jika berjanji, dan berkhianat jika diberi amanat.
Wahai ‘Ali, orang malas memiliki tiga ciri, yakni: menunda-nunda hingga sia-sia, menyia-nyiakan hingga hilang, dan menghilangkan hingga berdosa. Tidak sepantasnya buat orang yang berakal menampakkan diri kecuali dalam tiga hal, yakni: memperbaiki kehidupan, merasakan kelezatan apa-apa yang tidak haram, atau melangkah pada tempat kembali.
Wahai ‘Ali, termasuk keyakinan ialah bahwa engkau tidak senang kepada orang yang dibenci Allah, tidak memuji seseorang atas apa yang diberikan Allah kepadamu, dan tidak mencela apa yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sebab, rezeki tidak ditarik oleh ketamakan orang yang sangat rakus, dan tidak ditolak oleh kebencian orang yang benci. Allah Swt menjadikan kesenangan dan kelapangan dalam keyakinan dan kerelaan atas karunia Allah.
Wahai ‘Ali, tidak ada kefakiran yang lebih berbahaya ketimbang kebodohan, tidak ada harta yang lebih baik dari akal, tidak ada kesendirian yang lebih ditakuti dari ‘ujb (merasa bangga pada diri sendiri), tidak ada penyelesaian yang lebih dapat dipercaya dari musyawarah, tidak ada keimanan seperti keyakinan, tidak ada wara’ seperti menjaga kehormatan diri, tidak ada kemuliaan seperti akhlak mulia, dan tidak ada ibadah seperti tafakur.
Wahai ‘Ali, segala sesuatu memiliki penyakit. Penyakit pembicaraan adalah dusta, penyakit ilmu adalah lupa, penyakit ibadah adalah riya’, penyakit kepandaian adalah pembualan, penyakit keberanian adalah kedurhakaan, penyakit toleransi adalah kelemahan, penyakit kecantikan adalah kesombongan, penyakit kaya adalah kebakhilan, penyakit kedermawanan adalah pemborosan, penyakit ibadah adalah kecongkakan, dan penyakit agama adalah hawa nafsu.

Wasiat Ibnu ‘Arabi: Semoga Kau Tidak Mudah Membenci Sesama Manusia, dan Sesama Muslim

Abu Bakar Muhammad ibn al-‘Arabi adalah seorang sufi yang berasal dari keluarga Hatim ath-Tha’i. Ia dilahirkan di Murcia, Andalusia (Spanyol) pada tahun 1165 dan wafat pada tahun 1240 di Damaskus. Di kalangan masyarakat sufi, ia dikenal dengan nama Muhyiddin yang berarti “Penghidup Agama”. Sejak abad kedelapan, ketika ia dan ayahnya pindah ke Seville, ia belajar dengan tekun, dan kemampuan intelektual serta tingkat spiritualnya tampak menonjol di mata para gurunya. Saat berusia 30 tahun, ia mulai mengembara, bukan hanya di Spanyol, tetapi sampai ke Afrika Utara dan Asia. Ajarannya sedemikian berpengaruh hingga ia diberi gelar Asy-Syaikh Al-Akbar (Guru Terbesar).

Buku yang ditulis oleh Ibn ‘Arabi cukup banyak. Sebagian besar darinya tampaknya telah hilang, dan dua di antara karya pentingnya yang masih ada adalah Futuhat Al-Makkiyyah (Pengungkapan Rahasia Makkah) dan Fushush Al-Hikam (Untaian Hikmah).

Beliau lahir tahun 1165, 54 tahun setelah Al-Ghazali wafat (tahun 1111). Dalam benakku aku berpikir, sungguh manusia-manusia mutiara kehidupan muncul dan menghilang, sambung-menyambung membentuk jalinan yang begitu indahnya. Semoga Allah membalas kebaikan mereka, perjuangan mereka. Semoga Allah menghadiahkan kita pula kebaikan, karena kita telah menyediakan diri untuk menjadi manusia-manusia yang belajar dan mencari hikmah dan nasihat. Semoga hidup kita tidak pernah kering dari nasihat-nasihat yang baik.


***
Memimpikan Rasulullah Saw. adalah hal yang tak bisa diragukan kebenarannya. Satu wasiat Ibnu ‘Arabi yang menceritakan isi mimpinya bertemu Rasulullah:
***
Memimpikan Rasulullah Saw. adalah hal yang tak bisa diragukan kebenarannya. Yang mendorongku menulis kali ini adalah satu wasiat Ibnu ‘Arabi yang menceritakan isi mimpinya bertemu Rasulullah:
Berhati-hatilah engkau agar jangan membenci orang yang menolong Allah dan Rasul-Nya atau yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Aku pernah bermimpi bertemu dengan Rasulullah Saw. pada tahun 590 di Tlemcen (sebuah kota di Al Jazair). Telah sampai kepadaku kabar mengenai seseorang yang membenci Syaikh Abu Madyan. Aku yakin bahwa Abu Madyan termasuk tokoh di kalangan kaum arif. Aku benci kepada orang yang membenci Abu Madyan. Maka, Rasulullah Saw. pun bertanya kepadaku dalam mimpiku itu:
“Mengapa kau membenci si fulan?”
“Karena ia membenci Abu Madyan,” jawabku.
“Bukankah ia mencintai Allah dan mencintaiku?”
“Betul, wahai Rasulullah, ia mencintai Allah Swt. dan mencintaimu.”
Beliau bertanya lagi kepadaku, “Lalu mengapa engkau membencinya karena kebenciannya kepada Abu Madyan? Mengapa engkau tidak mencintainya karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya?”
“Wahai Rasulullah, demi Allah, mulai sekarang aku tidak akan keliru dan lupa. Sekarang aku bertobat dan ia menjadi orang yang paling aku cintai. Engkau telah mengingatkan dan memberiku nasihat, semoga Allah memberikan shalawat kepadamu,” jawabku.
Ketika bangun, aku ambil pakaian yang mahal harganya, harga yang tidak kuketahui nilainya. Aku tunggangi kendaraanku dan pergi menuju rumahnya. Lalu aku kabarkan apa yang telah terjadi. Maka ia menangis dan menerima hadiah dariku. Ia menjadikan mimpi itu sebagai peringatan dari Allah Swt. Maka hilanglah kebencian dalam dirinya kepada Abu Madyan, dan berbalik mencintainya. Aku ingin tahu sebab kebenciannya kepada Abu Madyan, padahal ia mengatakan bahwa Abu Madyan adalah seorang saleh. Aku tanyakan hal itu kepadanya. Maka ia menjawab:
“Kami pernah hidup bersamanya di Bougie (sebuah kota pelabuhan di Al Jazair). Pada hari raya ‘Id Al-Adhha, dibawakannya kepadanya hewan kurban. Lalu ia membagikan daging hewan kurban itu kepada sahabat-sahabatnya. Akan tetapi, ia tidak memberikan sedikit pun kepadaku. Inilah sebab kebencianku kepadanya, dan sekarang aku telah bertobat.”
Lihatlah betapa bagus pengajaran Nabi Saw. Beliau adalah orang yang pengasih dan lemah lembut. (h. 181)
***
Kisah itulah yang membuatku… bersedih. Karena ingat, ujian/fitnah terbesar umat Islam saat ini adalah kebecian pada sesamanya sendiri. Aku bukan orang yang membenarkan dan mentoleransi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi lewat keberadaan golongan-golongan umat yang kita cap sesat dan menyesatkan. Tetapi, ketika mereka berusaha mengatakan diri mereka (masih) Islam, sesungguhnya ada alasan bagi kita untuk tetap mencintai mereka dan selanjutnya melakukan sesuatu selayaknya orang yang menyayangi sesamanya. Kita belum berhasil melihat lebih jauh pada karunia apa yang Allah akan berikan atas kesediaanku kita mencintai dan meredam kebencian.
Membaca wasiat Ibnu ‘Arabi tentang bagaimana Rasulullah Saw. menasihatinya, aku jadi membayangkan Rasul mendatangi diriku, diri kita. Beliau bertanya:
“Mengapa kau membenci si fulan?”
“Karena ia tidak masuk dalam golongan saya. Dia Syiah. Dia Ahmadiyyah. Dia berpahaman liberal. Dia fundamentalis. Dia kolot. Dia berpaham sekular. Dia bukan muslim yang taat. Dia ahli neraka. Dia masalah sosial. Dia tidak mendukung negara Islam. Dia seorang nasionalis. Dia pemecah-belah umat. Dia pluralis. Dia menjelek-jelekkan ustadz saya. Dia menghina pemimpin partai saya, dan partai saya. Dia pro-Barat, dia, dia…” jawabku.
“Bukankah ia muslim? Bukankah Allah Tuhannya dan aku nabinya?”
Beliau bertanya lagi kepadaku, “Lalu mengapa engkau membencinya karena semua itu? Mengapa engkau tidak mencintainya karena kemuslimannya?”
Aku membayangkan seperti itu. Mereka bukan orang yang berkata mereka membenci Allah dan Nabi; apa alasan terbaik kita sehingga kita membenci mereka. Kenapa tangan kita tidak berat merusak kediaman mereka? Kenapa kita tidak berat menyebarkan berita-berita yang memojokkan mereka? Kenapa mulut kita tidak berat mendiskusikan buruknya keadaan mereka? Kenapa pikiran kita tidak berat mencari cara agar mereka resmi terlarang; menulis buku-buku dan artikel-artikel untuk membuktikan kesalahan mereka? Kenapa kita tidak berat melakukan hal-hal yang seperti itu?
Di mataku, kita yang seperti itu adalah kita yang merugi. Kita lupa hal yang sederhana sekali, yang sudah kita hafal sejak lama sekali:
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” QS Al-‘Ashr (103): 1-3
Dan aku sadar, nasihat-menasihati itu tidak akan pernah terjadi dan justru menciptakan permusuhan dan perpecahan jika tidak ada rasa kasih sayang di dalam hati ini. Aku tak punya kemampuan lebih untuk mencerna banyak ayat dan mengajarkan banyak ayat pula. Di antara yang sedikit yang aku pahami dan aku tanamkan dalam diriku sendiri, semoga Allah memudahkanku untuk menjadi penyambung lidah para ulama yang arif. Semoga kita adalah generasi yang menghidupkan nasihat, saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang (QS Al-Balad [90]: 17-18). Semoga kita adalah orang-orang yang memenuhi perintah Allah menghubungkan apa-apa yang Ia perintahkan supaya dihubungkan: silaturahim (QS Ar-Ra’ad [13]: 21).
“Wahai Rasulullah, demi Allah, mulai sekarang aku tidak akan keliru dan lupa. Sekarang aku bertobat dan ia menjadi orang yang paling aku cintai. Engkau telah mengingatkan dan memberiku nasihat, semoga Allah memberikan shalawat kepadamu,” jawabku.
Ketika bangun, aku ambil pakaian yang mahal harganya, harga yang tidak kuketahui nilainya. Aku tunggangi kendaraanku dan pergi menuju rumahnya. Lalu aku kabarkan apa yang telah terjadi. Maka ia menangis dan menerima hadiah dariku. Ia menjadikan mimpi itu sebagai peringatan dari Allah Swt. Maka hilanglah kebencian dalam dirinya kepada Abu Madyan, dan berbalik mencintainya. Aku ingin tahu sebab kebenciannya kepada Abu Madyan, padahal ia mengatakan bahwa Abu Madyan adalah seorang saleh. Aku tanyakan hal itu kepadanya. Maka ia menjawab:
“Kami pernah hidup bersamanya di Bougie (sebuah kota pelabuhan di Al Jazair). Pada hari raya ‘Id Al-Adhha, dibawakannya kepadanya hewan kurban. Lalu ia membagikan daging hewan kurban itu kepada sahabat-sahabatnya. Akan tetapi, ia tidak memberikan sedikit pun kepadaku. Inilah sebab kebencianku kepadanya, dan sekarang aku telah bertobat.”
Lihatlah betapa bagus pengajaran Nabi Saw. Beliau adalah orang yang pengasih dan lemah lembut. 
 ***
Kisah itulah yang membuatku… bersedih. Karena ingat, ujian/fitnah terbesar umat Islam saat ini adalah kebecian pada sesamanya sendiri. Aku bukanlah orang yang suka membenarkan dan mentoleransi penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Tetapi, ketika mereka mengatakan diri mereka (masih) Islam, sesungguhnya ada alasan bagi kita untuk tetap mencintai mereka dan selanjutnya melakukan sesuatu, yang selayaknya bagi orang yang menyayangi sesamanya. Kita belum berhasil menyadari betapa besarnya karunia yang akan Allah Swt berikan atas diri kita, ketika kita saling mencintai dan meredam segala bentuk kebencian.
Membaca wasiat Ibnu ‘Arabi tentang bagaimana Rasulullah Saw. menasihatinya, aku jadi membayangkan Rasul mendatangi diriku, diri kita. Beliau bertanya:
“Mengapa kau membenci si fulan?”
“Karena dia tidak termasuk dalam golongan saya. Dia bukan muslim yang taat. Dia ahli neraka. Dia masalah sosial. Dia pemecah-belah umat. Dia menjelek-jelekkan saya. Dia menghina pemimpin partai saya,dan,. Dia pro kesana-kesini, dia, dia, dia...…” jawabku.
“Bukankah ia muslim? Bukankah Allah Tuhannya dan aku nabinya?”
Beliau bertanya lagi kepadaku, “Lalu mengapa engkau membencinya karena semua itu? Mengapa engkau tidak mencintainya karena kemuslimannya?”
Aku membayangkan seperti itu. Mereka bukan orang yang berkata mereka membenci Allah dan Nabi; apa alasan terbaik kita sehingga kita membenci mereka. Kenapa tangan kita tidak berat merusak kediaman mereka? Kenapa kita terlalu mudah menyebarkan berita-berita yang memojokkan mereka? Kenapa mulut kita tidak berat mendiskusikan buruknya keadaan mereka? Kenapa pikiran kita tidak berat mencari cara agar mereka resmi terlarang; menulis buku-buku dan artikel-artikel untuk membuktikan kesalahan mereka? Kenapa kita tidak berat melakukan hal-hal yang seperti itu?
Di mataku, kita yang seperti itu adalah kita yang merugi. Kita lupa hal yang sederhana sekali, yang sudah kita hafal sejak lama sekali:
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” QS Al-‘Ashr (103): 1-3
Dan aku sadar, nasihat-menasihati itu tidak akan pernah terjadi dan justru menciptakan permusuhan dan perpecahan jika tidak ada rasa kasih sayang di dalam hati ini. Aku tak punya kemampuan lebih untuk mencerna banyak ayat dan mengajarkan banyak ayat pula. Di antara yang sedikit yang aku pahami dan aku tanamkan dalam diriku sendiri, semoga Allah memudahkanku untuk menjadi penyambung lidah para ulama yang arif. Semoga kita adalah generasi yang menghidupkan nasihat, saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang (QS Al-Balad [90]: 17-18). Semoga kita adalah orang-orang yang memenuhi perintah Allah menghubungkan apa-apa yang Ia perintahkan supaya dihubungkan: silaturahim (QS Ar-Ra’ad [13]: 21).


Wasiat Ibnu ‘Arabi: Pergaulilah dengan Sebaik-baiknya

Ibnu ‘Athaillah berkata, “Jika ada yang bertanya, ‘Bagaimana cara bersahabat dengan Allah?’ Ketahuilah bahwa bersahabat dengan segala sesuatu harus sesuai dengan keadaannya. Bersahabat dengan Allah diwujudkan dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Bersahabat dengan kedua malaikat (Raqib dan Atid) dilakukan dengan mendiktekan berbagai amal kebaikan. Bersahabat dengan Al Quran dan sunnah diwujudkan dengan mengamalkan isinya. Bersahabat dengan langit diwujudkan dengan merenungkannya. Bersahabat dengan bumi diwujudkan dengan mengambil pelajaran dari segala yang ada di dalamnya. Hubungan bersahabatan tidak mesti menunjukkan kesejajaran.
Jelasnya, persahabatan manusia dengan Allah adalah dengan karunia dan nikmat-Nya. Orang yang bersahabat dengan nikmat-Nya lewat cara bersyukur, bersahabat dengan ujian lewat sikap sabar, bersahabat dengan perintah lewat cara menunaikannya, bersahabat dengan larangan lewat cara menghindarinya, serta dengan ketaatan lewat cara ikhlas, berarti ia benar-benar bersahabat dengan Allah Swt. Bila persahabatan menguat, kedekatan pun didapat.” 
***
Bergaullah dengan setiap orang yang kau temani atau yang menemanimu.
Pergaulilah Allah dengan cara memenuhi janji ketika engkau berjanji kepada-Nya berupa ikrar atas rububiyah-Nya bagimu. Dia adalah sahabat sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.
Pergaulilah ayat-ayat Al Quran dengan kajian atasnya.
Pergaulilah benda-benda yang dapat kau capai melalui inderamu dengan mengambil pelajaran darinya.
Pergaulilah para Rasul dengan meneladani mereka.
Pergaulilah para malaikat dengan bersuci dan berzikir.
Pergaulilah setan-setan, dari golongan jin dan manusia, dengan cara mengingkarinya.
Pergaulilah malaikat-malaikat penjaga dengan kebaikan yang engkau diktekan kepada mereka.
Pergaulilah orang yang lebih tua dengan rasa hormat.
Pergaulilah orang yang lebih muda darimu dengan rasa kasih sayang.
Pergaulilah orang yang sebaya denganmu dengan pengkhidmatan dan pengutamaan. Hendaklah engkau menuntut dirimu untuk menunaikan haknya atasmu, dan engkau tinggalkan hakmu atasnya.
Pergaulilah para ulama dengan pengagungan.
Pergaulilah orang-orang bodoh dengan kemurahan hati.
Pergaulilah orang-orang jahil dengan siasat.
Pergaulilah orang-orang jahat dengan keberanian dan takut pada kejahatan mereka.
Pergaulilah binatang dengan memperhatikan kebutuhannya, karena binatang itu bisu.
Pergaulilah pohon-pohon dan bebatuan dengan tidak menggunakannya secara sia-sia.
Pergaulilah bumi (tanah) dengan salat di atasnya.
Pergaulilah orang-orang mati dengan mendoakan mereka, mengingat kebaikan mereka, dan melupakan kejahatan mereka.
Pergaulilah para sufi, ahli kaysf dan wujud di antara mereka, pemilik ahwal (pengalaman-pengalaman ruhani) dengan sikap tunduk.
Pergaulilah saudara-saudara di jalan Allah dengan memperhatikan gerak dan diamnya – dalam apa mereka bergerak dan dalam apa mereka diam.
Pergaulilah anak-anak dengan kebaikan.
Pergaulilah istri dengan perlakian yang baik, dan pergaulilah anggota keluarga dengan kecintaan.
Pergaulilah salat dengan kehadiran hati.
Pergaulilah puasa dengan penyucian diri dari dosa-dosa.
Pergaulilah ibadah-ibadah dengan zikir kepada Allah dan mengagungkan-Nya.
Pergaulilah zakat dengan bersegera menunaikannya.
Pergaulilah tauhid dengan keikhlasan.
Pergaulilah Nama-nama Allah dengan memberikan hakikat pada setiap nama berupa akhlak.
Pergaulilah perempuan dengan kewaspadaan pada fitnahnya.
Pergaulilah harta dengan mendermakannya.
Pergaulilah neraka dan siksaan dengan takwa dan ketakutan.
Pergaulilah surga dengan pendambaan.
Pergaulilah para wali dengan menambah kewalian (wilayah) mereka.
Pergaulilah musuh-musuh dengan menahan bahaya mereka.
Pergaulilah pemberi nasihat dengan penerimaan.
Pergaulilah orang yang berbicara dengan memperhatikan pembicaraannya.
Pergaulilah benda-benda yang ada (mawjudat) dengan kecintaan.
Pergaulilah para penguasa dengan mendengat dan ketaatan, dan mengambil tangan-tangan kezaliman dari mereka semampumu dengan cara menghentikan kejahatan mereka. Berhati-hatilah engkau agar jangn bersahabat dengan para penguasa, karena jika engkau banyak bergaul dengan mereka, mereka akan menguasaimu. Jika engkau meninggalkan mereka, mereka akan menghinamu.
Pergaulilah pembaca Al Quran dengan diam dan mendengarkan selama ia membacanya.
Pergaulilah Al Quran dengan pengkajian (tadabbur).
Pergaulilah hadist Nabi Saw. dengan penelitian dari yang sahih dan yang cacat, dan memeriksanya berdasarkan prinsip-prinsip. Jika sesuai dengan prinsip-prinsip, ambillah, kendatipun periwayatannya (sanad) tidak sahih, dan jika tidak memenuhi prinsip-prinsip secara keseluruhan, janganlah engkau ambil, sekalipun periwayatannya sahih, selama engkau tidak mengetahui ada aspek lain, karena hadist ahad memberikan manfaat, kecuali yang menimbulkan keraguan. Hendaklah engkau berpegang pada sunah yang mutawatir dan Kitab Allah. Keduanya adalah sebaik-baik pendamping dan sebaik-baik teman.
Berhati-hatilah engkau agar jangan memperbincangkan apa-apa yang terjadi di antara mereka (para sahabat). Cintailah mereka semuanya. Jangan mencela seorang pun di antara mereka. Dari mereka kita mengambil ajaran agama kita, yang dengannya kita beribadah kepada Allah. Pergaulilah mereka dengan keadilan dalam mengutip (hadis) dari mereka. Janganlah mencurigai mereka, karena mereka adalah generasi terbaik.
Pergaulilah rumahmu dengan menegakkan salat di dalamnya.
Pergaulilah majelismu dengan zikir kepada Allah di dalamnya.
Pergaulilah perpisahan dari setiap majelis dengan istighfar.
Yang pasti dari persahabatan ialah bahwa engkau memberikan setiap hak kepada yang berhak menerimanya. Janganlah engkau tinggalkan tuntutan seseorang atas haknya darimu.
Pergaulilah orang yang berbuat jahat kepadamu dengan maaf dan ampunan.
Pergaulilah orang jahat dengan kebaikan.
Pergaulilah pandanganmu dengan menundukkannya dari apa yang diharamkan Allah; pendengaranmu dengan mendengarkan sebaik-baik pembicaraan dan ucapan; dan lisanmu dengan diam dari ucapan yang jelek, walaupun lisan memiliki hak untuk itu, tetapi syariat membencinya atau mengharamkannya untuk diucapkan.
Pergaulilah dosa dengan ketakutan.
Pergaulilah kebaikan dengan harapan.
Pergaulilah doa dengan kepentingan.
Pergaulilah seruan kebenaran kepadamu dengan sambutan atas apa yang diserukan kepadamu, entah berupa perintah untuk melakukan sesuatu maupun perintah untuk meninggalkannya. (h. 206-209)
***
Pahami dengan hati-hati.

Wasiat Ibnu ‘Arabi: Kisah-kisah Hikmah dan Nasihat

Wasiat-wasiat1#

Wasiat Ibnu ‘Arabi: Kisah-kisah Hikmah dan Nasihat 

“Mengapa kau membenci si fulan?”
“Karena ia membenci Abu Madyan,” jawabku.
“Bukankah ia mencintai Allah dan mencintaiku?”
“Betul, wahai Rasulullah, ia mencintai Allah Swt. dan mencintaimu.”
Beliau bertanya lagi kepadaku, “Lalu mengapa engkau membencinya karena kebenciannya kepada Abu Madyan? Mengapa engkau tidak mencintainya karena kecintaannya kepada Allah dan Rasul-Nya?”
“Wahai Rasulullah, demi Allah, mulai sekarang aku tidak akan keliru dan lupa. Sekarang aku bertobat dan ia menjadi orang yang paling aku cintai. Engkau telah mengingatkan dan memberiku nasihat, semoga Allah memberikan shalawat kepadamu,” jawabku.
Ketika bangun, aku ambil pakaian yang mahal harganya, harga yang tidak kuketahui nilainya. Aku tunggangi kendaraanku dan pergi menuju rumahnya. Lalu aku kabarkan apa yang telah terjadi. Maka ia menangis dan menerima hadiah dariku. Ia menjadikan mimpi itu sebagai peringatan dari Allah Swt. Maka hilanglah kebencian dalam dirinya kepada Abu Madyan, dan berbalik mencintainya. Aku ingin tahu sebab kebenciannya kepada Abu Madyan, padahal ia mengatakan bahwa Abu Madyan adalah seorang saleh. Aku tanyakan hal itu kepadanya. Maka ia menjawab:
“Kami pernah hidup bersamanya di Bougie (sebuah kota pelabuhan di Al Jazair). Pada hari raya ‘Id Al-Adhha, dibawakannya kepadanya hewan kurban. Lalu ia membagikan daging hewan kurban itu kepada sahabat-sahabatnya. Akan tetapi, ia tidak memberikan sedikit pun kepadaku. Inilah sebab kebencianku kepadanya, dan sekarang aku telah bertobat.”
Lihatlah betapa bagus pengajaran Nabi Saw. Beliau adalah orang yang pengasih dan lemah lembut. 
2# Dalam bab Wasiat-wasiat Nabi kepada Imam ‘Ali
Wahai ‘Ali, orang mukmin memiliki tiga tanda, yakni salat, puasa, dan zakat. Orang yang pura-pura memiliki tiga tanda, yaitu: mencari muka jika berada di hadapan, menggunjing di belakang, dan merasa senang atas musibah yang menimpa orang lain. Orang zalim memiliki tiga tanda, yakni: bersikap sewenang-wenang pada bawahan, membangkang pada atasan, dan menampakkan kezaliman. Orang yang riya’ memiliki tiga tanda, yakni: diat di depan manusia, bermalasan jika sendirian, dan suka dipuji dalam setiap perbuatan. Orang munafik memiliki tiga tanda, yakni: berdusta jika berbicara, ingkar jika berjanji, dan berkhianat jika diberi amanat.
Wahai ‘Ali, orang malas memiliki tiga ciri, yakni: menunda-nunda hingga sia-sia, menyia-nyiakan hingga hilang, dan menghilangkan hingga berdosa. Tidak sepantasnya buat orang yang berakal menampakkan diri kecuali dalam tiga hal, yakni: memperbaiki kehidupan, merasakan kelezatan apa-apa yang tidak haram, atau melangkah pada tempat kembali.
Wahai ‘Ali, termasuk keyakinan ialah bahwa engkau tidak senang kepada orang yang dibenci Allah, tidak memuji seseorang atas apa yang diberikan Allah kepadamu, dan tidak mencela apa yang tidak diberikan Allah kepadamu. Sebab, rezeki tidak ditarik oleh ketamakan orang yang sangat rakus, dan tidak ditolak oleh kebencian orang yang benci. Allah Swt menjadikan kesenangan dan kelapangan dalam keyakinan dan kerelaan atas karunia Allah.
Wahai ‘Ali, tidak ada kefakiran yang lebih berbahaya ketimbang kebodohan, tidak ada harta yang lebih baik dari akal, tidak ada kesendirian yang lebih ditakuti dari ‘ujb (merasa bangga pada diri sendiri), tidak ada penyelesaian yang lebih dapat dipercaya dari musyawarah, tidak ada keimanan seperti keyakinan, tidak ada wara’ seperti menjaga kehormatan diri, tidak ada kemuliaan seperti akhlak mulia, dan tidak ada ibadah seperti tafakur.
Wahai ‘Ali, segala sesuatu memiliki penyakit. Penyakit pembicaraan adalah dusta, penyakit ilmu adalah lupa, penyakit ibadah adalah riya’, penyakit kepandaian adalah pembualan, penyakit keberanian adalah kedurhakaan, penyakit toleransi adalah kelemahan, penyakit kecantikan adalah kesombongan, penyakit kaya adalah kebakhilan, penyakit kedermawanan adalah pemborosan, penyakit ibadah adalah kecongkakan, dan penyakit agama adalah hawa nafsu. 
***
3#
Berhati-hatilah dari Orang-orang yang Munafik
Berhati-hatilah kamu dari berkumpul bersama orang-orang yang memaksakan diri memperindah perkataan di antara mereka sebagai tipuan. Mereka memperhalus perkataan sebagai tipuan, sedangkan hati mereka dipenuhi dendam, kedengkian, kerusakan, hasad, kesombongan, kerakusan, ketamakan, kebencian, permusuhan, dan tipu daya. Agama mereka adalah fanatisme. Akidah mereka adalah kemunafikan. Perbuatan mereka adalah riya’. Usaha mereka adalah nafsu pada dunia. Mereka berharap kekal di dalamnya, pada mereka tahu tidak ada jalan untuk itu. Mereka menumpuk harta yang tidak mereka makan, mendirikan bangunan yang tidak mereka tinggali, mengharapkan sesuatu yang tidak akan mereka peroleh, berusaha dengan jalan haram, berinfak dalam kemaksiatan, dan mencegah kebaikan dan berbuat kemungkaran. 
Tentang Ilmu yang Bermanfaat
Seorang bijak berkata: Perumpamaan seorang berilmu (‘alim) yang mencintai dunia dan tamak dalam menuntut kesenangannya adalah seperti dokter yang mengobati orang, tetapi membuat sakit dirinya. Tidak mungkin diharapkan kesembuhan darinya. Sebab, bagaimana mungkin ia dapat menyembuhkan orang lain? 
Yang Manakah Kita?
Seorang saleh berkata:
Barangsiapa meninggalkan kesibukan dalam kenikmatan dunia, maka ia adalah orang yang bersikap zuhud (zahid).
Barangsiapa berlaku adil dalam kasih sayang dan menegakkan hak-hak manusia, maka ia adalah orang yang bersikap tawadhu’ (mutawadhi’).
Barangsiapa menahan marah, menanggung kezaliman, dan selalu bersikap sabar, maka ia adalah orang yang bermurah hati (halim).
Barangsiapa bertindak adil, meninggalkan sikap berlebihan di dalam perkataan dan sederhana di dalam pembicaraan, meninggalkan yang tidak bermanfaat dan sederhana di dalam urusan-urusannya, maka ia adalah orang yang berakal (aqil).
Barangsiapa mencurahkan pikiran pada hal-hal yang mendekatkan dirinya pada Allah Swt., berusaha menjauhi dunia, dan berkata kepada dirinya sendiri, “Jika engkau tidak makan, engkau mati; jika engkau kenyang, engkau menjadi malas; dan jika engkau menambah, engkau akan sakit,” maka ia adalah ahli ibadah (‘abid). 
Rasulullah Saw. bersabda, “Kebahagiaan diperuntukkan bagi orang yang merendahkan diri (tawadhu‘) bukan karena kekurangan, yang menghinakan dirinya bukan karena kemiskinan, yang menafkahkan hartanya yang diperoleh bukan dengan kemaksiatan, yang bergaul dengan ahli fikih dan hikmah, dan yang mengasihi orang hina dan miskin. Kebahagiaan diperuntukkan bagi orang yang baik usahanya, yang baik ketersembunyiannya, yang mulia keterang-terangannya, dan yang menjauhkan kejahatannya dari manusia. Kebahagiaan diperuntukkan bagi orang yang mengamalkan ilmunya, yang menafkahkan kelebihan hartanya, dan tidak berlebihan dalam ucapannya.” 

Nasihat-nasihat dari Dzun-Nun Al-Mishri

Abul Faiz Tsuban bin Ibrahim al-Mishri, yang dijuluki Dzun Nun, lahir di kota Ekhmim yang terletak di pedalaman Mesir, sekitar tahun 180 H/796 M, dan wafat pada tahun 245 H/859 M. Dzun Nun (“Pemilik Ikan Nun”) termasuk Wali Allah generasi awal, sangat dihormati, kharismatik dan merupakan budayawan dan sastrawan mistik besar pada zamannya. Selain terkenal sebagai sufi, dia juga penyebar hadits-hadits dari Imam Malik, karena belajar langsung kitab al-Muwaththa kepadanya. Dzun Nun juga dikenal sebagai ahli filsafat dan kimia. Ciri kearifan falsafah Dzun Nun tercermin dalam ungkapannya: “Aku mengenal Allah dari Allah, dan aku mengetahui apa yang di samping Allah dari Rasulullah.”
Dalam sebuah paparannya tentang kaum arif atau sufi sejati, Dzun Nun mengatakan:
Sang arif semakin rendah hati (tawadhu) setiap saat, dan setiap saat dia semakin dekat kepada Tuhannya. Kaum Arifin melihat tanpa pengetahuan, tanpa penglihatan, tanpa penggambaran, tanpa halangan dan tanpa tirai. Mereka bukan diri mereka sendiri, tetapi sepanjang keberadaannya mereka itu berada di dalam Tuhan. Gerak-gerik mereka disebabkan oleh Allah dan kata-kata mereka adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui lidah-lidah mereka, dan penglihatan mereka adalah penglihatan Tuhan, yang telah memasuki mata mereka. Demikianlah, Allah Yang Maha Tinggi berfirman: “Jika Aku mencintai hamba-Ku, maka Akulah telinganya yang dengannya dia mendengar, Akulah mata-Nya yang dengannya dia melihat dan Akulah lidahnya yang dengannya dia berbicara, dan Akulah tangannya yang dengannya dia memegang.”
Dzun Nun mempunyai banyak pengikut yang kelak terkenal sebagai sufi besar. Ada dua muridnya yang sangat terkenal. Pertama adalah Yusuf ibn al-Husain (w. 304/916) dari Rayy, Persia, seorang sufi yang terkenal dengan keikhlasannya dan sering mengungkapkan pengalaman-pengalaman mistisnya, dan yang kedua adalah Sahl al-Tustari, salah satu guru Mansur al-Hallaj.
***
1# Nasihat Dzun-Nun Al-Mishri kepada Yusuf Al-Husain
Siapakah orang yang harus aku jadikan teman duduk?
Hendaklah engkau bergaul dengan orang yang dengan melihatnya saja mengingatkanmu kepada Allah, kemuliaannya berkesan dalam batinmu, perkataannya menambah ilmumu, dan perbuatannya menjadikanmu zuhud di dunia. Ia tidak berbuat maksiat kepada Allah selama engkau berada di dekatnya. Ia mengajarimu dengan lisan dan perbuatannya, dan tidak dengan lisan perkataannya. Ia meninggalkan apa yang menunjukkanmu padanya, yakni bahwa ia tidak memiliki keutamaan dengannya ia mengajarimu, kerena seseorang kadang-kadang mengerjakan perbuatan baik yang dituntut keadaannya. Ia menunjukimu dengan ucapannya pada perbuatan baik yang dituntut kepadamu, tetapi pada waktu yang sama tidak dituntut keadaannya. Dengan perkataannya, ia maksudkan lisan perbuatannya, yakni perbuatan-perbuatannya yang lurus atau adil. Inilah makna firman Allah Swt: Mengapa kamu suruh orang lain melakukan kebajikan sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu kembaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir? (QS Al Baqarah 2: 44) 
2#
Dzun-Nun berkata:
Orang berakal bukanlah orang yang pintar dalam urusan dunianya, tetapi bodoh dalam urusan akhiratnya, bukan orang yang jelek pekerti ketika harus bermurah hati, dan juga bukan orang yang bersikap sombong ketika harus merendahkan diri. Janganlah menjadi orang yang marah pada kebenaran jika dikatakan kebenaran itu kepadanya. Janganlah menjadi orang yang menjauhkan diri dari hal-hal yang disukai orang berakal. Janganlah menjadi orang yang menyedikitkan apa yang banyak dari Penciptanya dan memperbanyak yang sedikit dari apa yang disyukurinya. Janganlah menjadi orang yang menuntut keadilan dari orang lain untuk dirinya, tetapi ia sendiri tidak berlaku adil kepada orang lain. Janganlah menjadi orang yang melupakan Allah ketika harus menaati-Nya, tetapi mengingat Allah ketika berhajat kepada-Nya. Janganlah menjadi orang yang menumpuk ilmu sehingga terkenal, tetapi kemudian dipengaruhi hawa nafsunya ketika mempelajarinya. Janganlah menjadi orang yang sedikit rasa malunya kepada Allah atas keindahan hijab-Nya. Janganlah menjadi orang yang lalai bersyukur atas penampakan nikmat-Nya. Janganlah menjadi orang yang lemah dari berjihad melawan musuhnya demi keselamatannya ketika musuhnya memaksakan peperangan kepadanya. Janganlah menjadi orang yang menjadikan harga dirinya sebagai pakaiannya, tetapi tidak menjadikan adab, wara’, dan ketakwaan sebagai pakaiannya. Janganlah menjadi orang yang menjadikan ilmu dan pengetahuannya sebagai perhiasan dalam majelisnya.
Mohon ampunlah kepada Allah jika engkau terlalu banyak bicara. Jika engkau tidak menghentikannya, maka pembicaraan tidak akan terputus.
Janganlah engkau keluar dari tiga hal, yakni pandangan pada agamamu dengan keimananmu, berbekal dengan duniamu untuk akhiratmu, dan permohonan tolong kepada Tuhanmu di dalam apa yang diperintahkan-Nya kepadamu dan yang dilarang-Nya atas dirimu.
Brangsiapa memandang dan melihat-lihat aib orang lain, maka ia buta pada aib dirinya sendiri. Barangsiapa memperhatikan Firdaus dan neraka, maka dia dilalaikan dari omongan orang. Barangsiapa lari dari manusia, maka ia terhindar dari kejahatan mereka. Barangsiapa mensyukuri nikmat, maka nikmat bertambah baginya.
3# Nasihat Dzun-Nun kepada Ibrahim Al-Akhmimi
Wahai Ibrahim, jagalah dariku lima hal. Jika engkau menjaganya, maka engkau tidak akan peduli kepada apa yang terjadi sesudahnya.
Rangkullah kefakiran, bersifatlah dengan kesabaran, lawanlah keinginan (syahwat), ingkari hawa nafsu, dan takutlah kepada Allah dalam segala urusanmu. Hal itu akan mewariskan kepadamu rasa syukur, kerelaan, ketakutan, pengharapan, dan kesabaran. Yang lima ini akan mewariskan kepadamu lima hal, yakni: ilmu, amal, menunaikan yang fardhu, menjauhi yang haram, dan menepati janji. Engkau tidak akan sampai pada yang lima ini kecuali dengan lima hal, yakni: ilmu yang berlimpah, makrifat yang pasti, hikmah yang berpengaruh, akal yang menembus, dan jiwa yang takut.
Celakalah semua, celaka orang yang diuji dengan, yakni: barang haram, kemaksiatan, menghias diri untuk apa yang dimurkai Allah, menghina manusia dengan apa yang ada pada dirinya. Keburukan yang paling paling jelek adalah: pegangan pada yang jelek, perbuatan yang jahat, membebani punggung dengan dosa, memata-matai manusia dengan apa yang tidak disukai Allah, dan menampakkan kepada Allah apa yang dibenci-Nya.
Kebahagiaan diperuntukkan bagi orang yang mengikhlaskan, yakni: yang mengikhlaskan ilmu dan amalnya, yang mengikhlaskan cinta dan marahnya, yang mengikhlaskan bicara dan diamnya, dan yang mengikhlaskan perkataan dan perbuatannya 
Ketahuilah wahai Ibrahim, bahwa sisi halal itu ada lima, yaitu: perniagaan dengan jujur, bekerja dengan ketulusan, perburuan di darat dan di laut, pewarisan barang yang diperoleh secara halal, dan hadiah dari tempat yang engkau relakan. Setiap kesenangan dunia ada kelebihan, kecuali lima hal: roti yang mengenyangkanmu, air yang memuaskanmu, pakaian yang menutupi tubuhmu, rumah yang meneduhimu, dan ilmu yang kau amalkan. Engkau memerlukan juga lima hal, yaitu: keikhlasan, niat baik, taufik, kesesuaian dengan kebenaran, dan makanan dan minuman yang baik.
Hal yang mengandung ketenangan, yaitu: meninggalkan teman yang jahat, kezuhudan di dunia, meninggalkan penghinaan pada hamba-hamba Allah, bahkan engkau tidak menghinakan orang yang berbuat maksiat kepada Allah. Ketika itu, gugurlah darimu lima hal, yaitu: perbantahan, perdebatan, riya’, berhias, dan mencintai kedudukan.
Terdapat lima yang di dalamnya menggabungkan tujuan, yaitu: memutuskan hubungan dengan selain Allah, meninggalkan kelezatan yang mendatangkan hisab, tidak sabar dalam menghadapi sahabat dan musuh, ketenangan, dan meninggalkan penumpukan harta. Lima hal, wahai Ibrahim, yang diharapkan seorang berilmu (‘alim), yaitu kenikmatan yang hilang, bencana yang datang, kematian yang membinasakan, fitnah yang mematikan, atau ketergelinciran kaki setelah tegaknya. Cukuplah bagimu wahai Ibrahim, engkau mengamalkan apa yang engkau telah ketahui.
4# Wasiat Dzun-Nun Al-Mishri kepada Kaum Muda
Wahai pemuda, ambillah senjata celaan bagi dirimu, dan gabungkanlah dengan menolak kezaliman, maka di Hari Kemudian engkau akan memakai jubah keselamatan. Tahanlah dirimu dalam taman ketenteraman, rasakan pedihnya fardhu-fardhu keimanan, maka engkau akan memperoleh kenikmatan surga. Teguklah cawan kesabaran dan persiapkan ia untuk kefakiran hingga engkau menjadi orang yang sempurna urusannya.
“Diri mana yang mampu melakukan ini?”
Dzun-Nun menjawab, “Diri yang bersabar atas lapar, yang teringat pada jubah kezaliman, diri yang membeli akhirat dengan dunia tanpa syarat dan tanpa kecuali, dan diri yang berperisaikan kerisauan, yang menggiring kegelapan pada kejelasan. Apa pedulimu dengan diri yang menempuh lembah kegelapan, meninggalkan kegelapan lalu memiliki, memandang akhirat, melihat kefanaan, melalaikan dosa, merasa cukup dengan makanan sedikit, menundukkan pasukan nafsu, dan bersinar dalam kegelapan. Ia bercadarkan kudung berhias, dan menuju kemuliaan dalam kegelapan. Ia menginggalkan penghidupan. Inilah diri yang berkhidmat, yang mengetahui hari yang akan datang. Semua itu dengan taufik Allah yang Mahahidup dan Maha Berdiri Sendiri.” 
5# Wasiat Dzun-Nun kepada Saudaranya
Kepada saudaranya, Al-Kifla, Dzun-Nun berkata, “Wahai Saudaraku, jadilah engkau orang yang selalu disifati dengan kebaikan dan jangan menjadi orang yang hanya bisa menerangkan kebaikan-kebaikan saja.” 

Wasiat Ibnu ‘Arabi: Nasihat Al-Fudhayl Ibn ‘Iyadh kepada Harun Ar-Rasyid

Dalam Wasiat-wasiat Ibnu ‘Arabi ada kisah tentang khalifah Harun Ar-Rasyid yang patut disimak. Di dalamnya terdapat pula kisah khalifar ‘Umar bin ‘Abdul Aziz.

  ***
Diriwayatkan bahwa Amirul-Mukminin Harun Al-Rasyid menunaikan ibadah haji. Ia disertai Al-Fadhl ibn ar-Rabi’. Al-Fadhl berkata bahwa Amirul-Mukminin berkata, “Ah, kamu. Sesuatu telah terjadi padaku. Tunjukkanlah kepadaku seorang yang akan kutanyai.”
Maka aku berkata, “Inilah Sufyan ibn ‘Unaynah.”
Ia berkata, “Marilah kita menemuinya.”
Maka kami pergi menemuinya, lalu kuketuk pintu rumahnya. Ia bertanya, “Siapa?”
Aku jawab, “Bukalah, ini ada Amirul Mukminin!”
Lalu ia segera keluar dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, kalau engkau mengutus seseorang kepadaku, niscaya aku akan mendatangimu,”
Amirul Mukminin berkata, “Ambillah yang kami bawa untukmu, semoga Allah mengasihimu.” Amirul Mukminin bercaka-cakap dengannya sebentar, kemudian bertanya, “Apakah engkau punya utang?”
Ia menjawab, “Benar, aku punya utang.”
Maka kami keluar. Lalu Amirul Mukminin berkata, “Sahabatmu tidak memerlukan apapun dariku. Tunjukkan kepadaku orang yang akan kutanyai.”
Maka aku jawab, “Inilah ‘Abd Ar-Razzaq.”
Kemudian Amirul Mukminin berkata kepadanya seperti yang dikatakannya kepada Sufyan. Lalu ia berkata, “Sahabatmu tidak memerlukan apapun dariku. Tunjukkan kepadaku orang yang akan kutanyai.”
Aku jawab, “Inilah Al-Fudhayl Ibn ‘Iyadh.”
Amirul Mukminin berkata, “Marilah kita menemuinya.”
Ketika kami sampai di rumahnya, ia sedang salat dan membaca satu ayat Al Quran seraya mengulang-ulanginya.
Amirul Mukminin berkata, “Ketuklah pintu rumahnya.”
Maka kuketuk, lalu ia bertanya, “Siapa?”
Aku jawab, “Bukalah, ini ada Amirul Mukminin.”
Maka ia berkata, “Aku tidak memerlukan apa-apa dan tidak ada keperluan kepada Amirul Mukminin.”
Lalu kukatakan, “Mahasuci Allah, bukankah engkau harus taat kepadanya?”
Ia turun dan membuka pintu. Kemudian ia naik lagi ke kamarnya, mematikan lampu, dan berlindung di salah satu sudut rumahnya. Lalu kami masuk dan meraba-raba dengan tangan kami. Tangan Amirul Mukminin terlebih dahulu menyentuhnya. Ia berkata, “Aduhai, betapa lembutnya tangan ini seandainya pada hari esok selamat dari azab Allah.” Aku berkata pada diriku, mudah-mudahan, ia berkata kepada Amirul Mukminin dengan ucapan yang keluar dari lubuk hati yang bertakwa.
“Ambillah yang aku bawa untukmu, wahai yang dikasihi Allah,” kata Amirul Mukminin.
Maka Al-Fudhayl Ibn ‘Iyadh berkata, ” ‘Umar ibn ‘Abd Al-‘Aziz, semasa berkuasa, memanggil Salim ibn ‘Abd Allah, Muhammad ibn Ka’ab Al-Qarazhi, dan Raja’ ibn Haywah. Ia berkata kepada mereka, ‘Aku telah dicoba dengan ujian ini. Berilah aku nasihat.’ Ia menganggap kekhalifahan sebagai ujian, tetapi engkau dan sahabat-sahabatmu menganggapnya sebagai kenikmatan.
Maka Salim ibn ‘Abd Allah berkata kepadanya, ‘Jika engkau menginginkan keselamatan dari azab Allah, berpuasalah dari kesenangan dunia dan jadikanlah kematian sebagai pembuka puasamu.’
Muhammad ibn Ka’ab Al-Qarazhi pun berkata, ‘Jika engkau ingin selamat dari azab Allah, jadikanlah orang yang lebih tua dari kalangan kaum Muslim sebagai ayah bagimu, orang yang sebaya sebagai saudara, dan yang lebih muda sebagai anakmu. Hormatilah ayahmu, muliakanlah saudaramu, dan sayangilah anakmu.’
Kemudian Raja’ ibn Haywah pun berkata padanya, ‘Jika engkau ingin selamat dari azab Allah di hari esok, cintailah kaum Muslim seperti engkau mencintai dirimu sendiri, bencilah dari mereka apa yang tidak engkau sukai pada dirimu. Kemudian, matilah jika engkau mau.’
Aku hanya mengatakan padamu, wahai Harun, bahwa aku sangat khawatir padamu akan suatu hari di mana kaki tergelincir. Apakah ada bersamamu -semoga Allah merahmatimu- orang yang menasihatimu seperti ini?”
Maka Harun pun menangis terisak-isak hingga ia jatuh pingsan. Lalu kukatakan, “Akulah yang menemani Amirul Mukminin.”
Al-Fudhayl Ibn ‘Iyadh berkata, “Engkau dan sahabat-sahabatmu akan membunuhnya, tetapi akulah yang akan menemaninya.”
Kemudian Amirul Mukminin siuman, lalu ia berkata kepada Al-Fudhayl Ibn ‘Iyadh, “Tambahkan (nasihat) untukku, wahai yang dikasihi Allah.”
“Wahai Amirul Mukminin, telah sampai kabar kepadaku bahwa seorang pekerja ‘Umar ibn ‘Abd Al-‘Aziz mengadu padanya. Lalu ‘Umar ibn ‘Abd Al-‘Aziz menulis surat kepadanya: ‘Wahai saudaraku, aku ingatkan padamu tentang keterjagaan penghuni neraka di dalamnya yang abadi selamanya. Berhati-hatilah engkau agar jangan berpaling dari Allah, karena yang demikian itu akan menjadi akhir perjanjian dan terputusnya harapan.’
Ketika pekerja itu membaca surat tersebut, ia pergi melintasi negeri hingga menghadap kepadanya, ‘Umar ibn ‘Abd Al-‘Aziz. ‘Umar ibn ‘Abd Al-‘Aziz bertanya padanya, ‘Apa yang harus aku berikan padamu?‘ Ia berkata, ‘Suratmu telah meluluhkan hatiku. Aku tidak akan kembali menduduki jabatanku hingga aku menemui Allah.‘ ”
Maka Harun menangis lagi tersedu-sedu, kemudian berkata kepada Al-Fudhayl Ibn ‘Iyadh, “Tambahkan lagi (nasihat) untukku, wahai yang dikasihi Allah.”
“Wahai yang bagus rupa, engkau akan ditanya oleh Allah tentang penciptaan ini pada Hari Kiamat. Jika engkau dapat melindungi wajah ini, lakukan itu. Berhati-hatilah engkau agar jangan memasuki waktu pagi dan perang sementara di dalam hatimu terselip dengki kepada orang yang berada dalam tanggung jawabmu, karena Nabi Saw. bersabda, ‘Barangsiapa memasuki waktu pagi dalam keadaan dengki (kepada seseorang), maka ia tidak akan mencium bau surga,'” kata Al-Fudhayl Ibn ‘Iyadh.
Harun menangis lagi, dan berkata, “Apakah engkau punya utang?”
“Betul, utang kepada Tuhanku, yang karenanya Dia tidak akan membuat perhitungan denganku. Celakalah jika Dia memintanya dariku. Celakalah aku jika Dia membantahku dan menolak alasanku. Itu adalah utang para hamba. Tuhanku tidak memerintahkan padaku hal itu. Dia telah berfirman: Sesungguhnya Allah adalah Maha Pemberi Rezeki (QS Adz Dzariyat 51: 58).”
“Inilah seribu dinar. Ambillah, dan nafkahkanlah kepada keluargamu. Dengan uang ini engkau dapat memperbanyak ibadahmu,” kata Harun.
“Mahasuci Allah, aku tunjukkan padamu jalan menuju keselamatan, dan engkau membalasku dengan yang seperti ini. Semoga Allah menyelamatkanmu dan memberikan taufik kepadamu,” kata Al-Fudhayl Ibn ‘Iyadh.
Kemudian ia diam dan tidak berkata apapun kepada kami. Maka kami keluar dari tempatnya. Ketika kami sampai di pintu, Harun berkata padaku, “Jika engkau tunjukkan aku pada seseorang, maka tunjukkanlah aku kepada orang seperti ini. Ia adalah pemimpin kaum Muslim.”
Lalu salah seorang istrinya masuk ke tempat Al-Fudhayl Ibn ‘Iyadh, dan berkata, “Wahai suamiku, kadang-kadang engkau lihat kami berada dalam kesempitan. Kalau engkau terima uang itu, niscaya engkau dapat mengeluarkan kami dari kesempitan itu.”
Al-Fudhayl Ibn ‘Iyadh berkata kepada istrinya, “Perumpamaan aku dan kamu adalah seperti suatu kaum yang memiliki unta muda. Mereka makan dari hasil kerja unta itu. Ketika unta itu menjadi tua, mereka menyembelihnya dan memakan dagingnya.”
Ketika Harun mendengar percakapan ini, ia berkata, “Marilah kita masuk lagi, mudah-mudahan ia mau menerima uang ini.”
Al-Fudhayl Ibn ‘Iyadh mengetahui hal itu. Ia keluar dan duduk di depan pintu kamarnya. Lalu Harun datang dan duduk di sampingnya. Harun mulai berbicara kepadanya, tetapi ia tidak menjawabnya.
Tatkala kami berada dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba keluar seorang budak perempuan hitam, dan berkata kepada Harun, “Wahai tuan, engkau telah mengganggu syaikh ini. Kembalilah, semoga Allah merahmatimu.” Maka kami pun kembali.
***
Penutup
Seseorang berkata kepada Dzun-Nun Al Mishri, “Tunjukkanlah padaku jala menuju kebenaran dan makrifat.”
Ia menjawab, “Wahai saudaraku, tunjukkan kebenaran halmu, yang engkau alami dan sesuai dengan Al-Kitab dan Sunnah Nabi. Janganlah engkau melampaui apa yang tidak boleh engkau lampaui, karena kakimu bakal tergelincir. Jika ditunjukkan padamu, engkau tidak akan jatuh. Tetapi, jika engkau melampauinya engkau akan jatuh. Berhati-hatilah engkau agar jangan meninggalkan apa yang engkau lihat sebagai keyakinan ketika engkau mengharapkannya sebagai keraguan.”